Apa itu Nilai Nilai Pancasila?
Nilai Pancasila | Kalian tau bukan bahwa Pancasila merupakan dasar filsafat negara republik Indonesia. Pancasila telah tertanam pada bangsa Indonesia jauh sebelum disahkannya pada tanggal 18 Agustus 1945. Nilai nilainya telah ada. Nilai nilai apa itu? Nilai nilai pancasila seperti nilai nilai istiadat, nilai kebudayaan, dan juga nilai nilai religius, serta penghargaan terhadap hegemonitas atau perbedaan.
Nilai-nilai Pancasila tersebut melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, oleh karena itulah materi Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, oleh karena itulah istilah kausa materialis Pancasila diartikan sebagai bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai Pancasila itulah yang kemudian dimasukkan melalui perumusan secara formal dan penuh pertimbangan oleh para pendiri negara Indonesia dalam Panitia 9 dan BPUPKI yang kemudian akhirnya sehari setelah kemerdekaan, ditetapkan sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia (NKRI) sebagai PANCASILA (lima Sila).
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami Pancasila secara lengkap dan utuh terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia, sangat dibutuhkan pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu asas hidup bersama demi kesejahteraan hidup bersama, yaitu negara yang berdasarkan pancasila.
Selain itu secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggungjawaban ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan hidup bangsa (the way of life), jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia ketika mendirikan negara ini kesatuan ini.
Nilai-nilai essensial Pancasila yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataan secara objektif telah mendarah daging dalam darah rakyat bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala jauh sebelum negara Indonesia ini disahkan. Proses terbentuknya negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV, ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya.
Selanjutnya, dasar-dasar pembentukan nasionalisme modem diawali oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain perjuangan para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908 dalam pergerakan pemikiran dan “bawah tanah”, yang akhirnya membuahkan satu langkah besar yaitu sumpah pemuda pada tahun 1928. Melalui beragam proses yang terjadi yang akhirnya mencapai titik akhir dan awal bagi rakyat Indonesia untuk menjadi kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1945 saat kemerdekaan itu diproklamirkan. Mari pelajari dibawah ini bagaimana nilai nilai Pancasila tersebut mengalir pada zaman kerajaan.
Nilai Nilai Pancasila Pada Zaman Kerajaan
Nilai Pancasila: Zaman Kutai
Berdasarkan bukti sejarah tekstual tertua. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan pertama yang tercatat berdasarkan 7 prasasti Yupa (tiang batu) yang menunjukkan penanggalan 400 Masehi (walaupun sesungguhnya masih banyak kerajaan sebelumnya tapi prasasti ataupun bukti kebudayaannya belum ditemukan dan dilaporkan secara ilmiah).
Berdasarkan prasasti tujuh Yupa tersebut diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman keturunan dari Kudungga. Berdasarkan prasasti yupa tersebut, dituliskan bahwa Raja Mulawarman melaksanakn kenduri (perjamuan makan atau acara selamatan) dan memberi sedekah kepada para Brahmana, dan para Brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih raja yang dermawan (Ismaun, 1975: 25).
Hal yang diperlihatkan dari prasasti tersebut bahwa nilai nilai sosial politik, ketuhanan dan kesejahteraan masyarakat telah ada sejak zaman kerajaan Kutai.
Lanjut dari segi religius, diketahui bahwa bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan Sumatera. Mulai dari tahun 400-1500-an terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir separuh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa dan kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatra (Toyibin, 1997).
Nilai Pancasila : Zaman Sriwijaya
Mr. M. Yamin (salah satu anggota BPUPKI) menekankan bahwa berdirinya berdirinya negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia.
Menurutnya, Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: pertama, zaman Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. Kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara kebangsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga, Negara kebangsaan modem yaitu Negara Indonesia merdeka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) (Sekretariat Negara RI., 1995: 11).
Kerajaan Sriwijaya sendiri diketahui berdasarkan sejarah tertulis ada pada abad ke-VII di Sumatera. Pada masa itu, kerajaan Sriwijaya berada pada masa kekuasaan Wangsa Syailendra. Ketentuan tersebut dapat anda temukan padaprasasti Kedukan Bukit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang bertanggalkan 605 Caka atau 683 M., dituliskan dalam bahasa Melayu kuno dan huruf Pallawa.
Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya. Buktinya menurut cacatan sejarah, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Sunda (686) dan Selat Malaka (775). Ini merupakan pusat lalu lintas sebelah barat. Menurut Keneth R. Hall, (1976: 75-77) Pada zaman itu kerajaan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani di kawasan Asia selatan.
Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan dengan pedagang pengrajin dan pegawai raja yang disebut Tuha An Vatakvurah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koperasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya.
Selain di bagian kelautan dan perdagangan, Kerajaan Sriwijaya juga memilih sejarah yang baik sebagai kerajaan yang memngembangkan tata negara dan tata pemerintahan yang berhasil menciptakan kondisi tata aturan dengan adanya peraturan peraturan yang diberlakukan kepada rakyatnya.
Lalu bagaimana dengan nilai religius kerajaan Sriwijaya. Selain kelengkapan dalam pengurusan kenegaraan, kerajaan Sriwijaya menurut Suwarno (1993:19), menunjuk rohaniawan yang bertanggungjawab dalam pengawasan teknis pembangunan gedung gedung dan patung patung suci kerajaan.
Demikianlah penjelasan nilai pancasila dalam kerajaan Sriwijaya. Mari beranjak ke bagian sebelum hadirnya kerajaan Majapahit.
Nilai Pancasila: Sebelum Kerajaan Majapahit
Kenapa perlu menjelaskan tentang masa ini? Hal ini dikarenakan ada banyak kerajaan yang muncul sebelum kerajaan Majapahit meluaskan daerahnya. Nilai nilai nasionalisme telah ada pada zaman sebelum kerajaan Majapahit dibagian Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kerajaan apa saja itu. Pada wilayah Jawa Tengah contohnya adalah Kerajaan Kalingga pada abad ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu membangun candi Kalasan untuk Dewa Tara dan sebuah wihara (rumah ibadah umat Budha) untuk pendeta Budha didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti Syailendra (abad ke-7 dan ke-9). Salah satu peninggalan sejarah dan bukti puncak budaya dari Jawa Tengah dalam periode-periode kerajaan-kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke-9), dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke-10).
Mungkin anda telah tahu dan pelajari bahwa agama Hindu dan Budha berasal dari India, sehingga pembangunan candi-candi tersebut menunjukkan fakta bahwa dahulu bangsa Indonesia telah mengembangkan toleransi beragama dan sikap humanisme dalam pergaulan antar manusia.
Kemudian pada daerah Jawa Timur ada kerajaan Isana (pada abad ke-9), Darmawangsa (abad ke-10) demikian juga kerajaan Airlangga pada abad ke-11. Kerajaan Airlangga merupakan kerajaan yang epik pada masanya. Kenapa? Pada masa itu, Menurut Toyibin, (1997: 26) Raja Airlangga membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam kehidupan beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai.
Dituliskan dalam prasasti Kelagen, bahwa Raja Airlangga menunjukkan nilai nilai kemanusian dengan mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa. Demikian pula Airlangga mengalami penggemblengan lahir dan bathin di hutan dan tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan tradisi istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian rakyat, dan hal ini merupakan nilai-nilai sila kelima (Toybin, 1997 : 28,29).
Bahkan pada zaman itu lambang negara Indonesia yang makna di dalamnya juga melambangkan sila-sila Pancasila, digambarkan dengan burung garuda, dengan seloka (bentuk puisi melayu klasik) Bhinneka Tunggal Ika. Burung garuda adalah merupakan kekayaan satwa nusantara, sebagai salah satu jenis burung bahkan terdapat secara luas di tanah bangsa serumpun dan memiliki kesamaan kebudayaan yaitu madagaskar dan malagsi, dan satwa itu dahulu diistilahkan dengan nama Vurumahery’ yang berarti burung sakti. Garuda adalah termasuk jenis burung yang besar dan kuat dan mampu terbang tinggi, yang melambangkan suatu bangsa (Indonesia) yang besar dan kuat. Sebagai seekor satwa, burung garuda mampu terbang tinggi, dan hal ini melukiskan cita-cita bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat internasional (Ismaun, 1975: 118).
Burung garuda juga lambang pembangun dan pemelihara, hal ini dapat ditafsirkan dari sejarah nenek moyang bangsa Indonesia dahulu ada yang menganut Agama Hindu dan garuda adalah wahana (kendaraan) Dewa Wishnu yaitu dewa pembangun dan Pemelihara dan dalam cerita wayang di Jawa terjelma dalam Bhatara Kresna tokoh yang bijaksana. Bahkan Raja Airlangga menggunakan lencana Garudamukha yang terkandung dalam kitab Marowangsa. Demikian pula kerajaan Kedah juga menggunakan lambang Garuda Garagasi sebagai lambang pemelihara (Ismaun, 1975: 119).
Kemudian pada daerah Jawa Timur tepat nya Kediri terdapat kerajaan Singasari (pada abad ke-13), yang yang memiliki kaitan erat dengan sejarah berdirinya kerajaan Majapahit (Akan dibahas pada artikel sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit).
Nilai Pancasila Zaman Kerajaan Majapahit
Kerajan Majapahit berdiri pada tahun 1293 dan berada pada zaman keemasannya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh laksamana Nala.
Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari semananjung melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara. Kekuasaan yang dimaksud pada kata ini adalah penjagaan bukan dalam artian menaklukkan seluruh kerajaan dipelosok Indonesia. (Akan dijelaskan pada artikel terpisah tentang Wilayah Kekuaaan Kerajaan Majapahit).
Pada masa inilah istilah Pancasila hadir. Empu Prapanca yang menuliskan kakawin Nagarakretagama (1365) menuliskan istilah “Pancasila”. Selain itu dalam karangan Empu Tantular, berjudul Sutasoma (Purudasanta), muncullah seloka (puisi klasik) tentang persatuan nasional yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang melambangkan bangsa dan negara Indonesia yang tersusun dari berbagai unsur rakyat (bangsa) yang terdiri atas berbagai macam, suku, adat-istiadat, golongan, kebudayaan dan agama, wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau menyatu menjadi bangsa dan negara Indonesia.
Seloka ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dipetik dari kitab Sutasoma atau Purudasanta dalam bahasa Jawa Kuno gubahan Empu Tantular. Bunyi dari petikan bagian kitab Sutasoma itu selengkapnya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno sebagai berikut:
Hyang Budha tan pahi Ciwa raja dewa.
Rwanekadhatu winuwus wara Budha wicwa ’
Bhinneka rakwa ring apan kena parwwanosen.
Mangka Yittnawa lawan Ciwatatwatunggal ’
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Adapun terjemahannya adalah sebagai berikut:
Dewa Budha tidak berbeda dengan dewa Syiwa sebagai dewa. Keduanya disebutkan memiliki sejumlah anasir dunia, Budha yang tinggal di kedudukannya ini adalah dunia semesta alam. Apakah kedua mereka yang dapat diperbedakan ini dipisakan menjadi dua. Dzat budha dan dzat Syiwa itu hanya satu. Itu dapat diperbedakan tetapi sesungguhnya satu, tak ada hukum agama yang mendua (Ismaun, 1975: 122).
Apa yang ingin disampaikan dalam seloka diatas? Tidak lain tentang nilai persatuan nasional dan toleransi dalam beragama dan terhadap kepercayaan. Melalui kajian filsafat analitika bahasa (metode analisis terhadap makna penggunaan ungkapan bahasa era kontemporer di Eropa), seloka Bhinneka Tunggal Ika itu pada hakikatnya merupakan suatu Frase. Secara linguistis makna struktural seloka tersebut adalah ‘beda itu, satu itu’. Secara morfologis kata ‘Bhinneka’ berasal dari kata polimorfemis yaitu ‘bhinna’ dan ‘ika’. Kata ‘Bhina’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘Bhid’, yang dapat diterjemahkan menjadi ‘beda’. Dalam proses linguistis karena digabungkan dengan morfem ‘ika’ maka menjadi ‘bhinna’. ‘Ika’ artinya itu, ‘bhinneka’ artinya beda itu, sedangkan ‘tunggal ika’ artinya satu itu (Kaelan, 1996).
Sehingga, apabila diartikan dengan gamblang, makna ‘Bhinneka Tunggal Ika ’, Tan hana dharma mangrwa, adalah: meskipun berbeda beda akan tetapi satu jua. Tidak ada hukum yang mendua (dualisme). Sejak zaman sebelum Majapahit dan pada zaman kerajaan ini toleransi positif dalam bidang agama telah dijunjung tinggi. Ini merupakan fakta historis bahwa kausa materialis Pancasila sudah tertanam dan diamalkan dalam kehidupan bersama, walaupun pada masa itu masih dalam kekuasaan kerajaan.
Selain nilai tersebut diatas, nilai nilai Pancasila berupa permusyarawatan untuk mufakat juga telah ada pada masa itu. Berdasarkan prasasti Brumbung (1329), diterangkan dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakyan I Hino, I Sirikan, dan I Halu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan Majapahit.
Oke mari simpulkan apa yang telah dijelaskan dengan cukup panjang diatas.
Kesimpulan
Nilai nilai Pancasila mulai dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan , Kerakyatan dan Keadilan telah sejak sebelum zaman penjajahan yang dibuktikan dalam prasasti prasasti kuno yang kemudian dirumuskan menjadi 5 Sila disebut Pancasila yang merupakan cita cita luhur serta dasar negara NKRI.
Sumber Artikel:
- Kaelan, M.S. 2014. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi 2014. Diterbitkan oleh Paradigma di Yogyakarta.
- Kaelan.1996. Filsafat Pancasila. Diterbitkan oleh Paradigma di Yogyakarta.
- Ismaun. 1975. Problematika Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia. Diterbitkan oleh CV. Yulianti di Bandung
- Kenneth, R. Hall. 1989. Dlaam Suwarno. Sejarah Biroraksi Pemerintahan Indonesia Dahulu Dan Sekarang. Penerbit UAJ. Yogyakarta.
- Sekertaris Negara Republik Negara. 1995. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta
- Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia Diterbitkan oleh Kanisius di Yogyakarta.
- Toyibin Aziz, M., 1997. Pendidikan Pancasila, diterbtikan oleh Rineka Cipta di Jakarta